Ensiklopedia ilmu yang menyatukan berbagai disiplin ilmu untuk dunia yang lebih baik.
 

Sejarah dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia

Seperti yang kamu ketahui, wilayah suatu Negara meliputi udara, darat, dan lautan.

Laut merupakan batas suatu Negara dengan Negara lain yang ditentukan melalui ekstradisi Bilateral atau Multilateral yang berarti pula merupakan batas kekuasaan suatu Negara.

Dalam Perkembangan hukum Internasional, batas Wilayah suatu Negara sangat dipegang erat, pelanggaran terhadap suatu Negara dapat berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan dan berlarut-larut dan bias menimbulkan peperangan.

Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia

Wilayah Perairan Indonesia telah di mulai peraturannya sejak zaman penjajahan Belanda melalui Teritorial Zee En Marietieme Kringen Ordonantie (TZMKO)/Ordonansi lingkungan Maritim yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada Tahun 1939 yang menyebutkan batas Laut Teritorial sejauh 3 Mil laut.

Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, sebagian dari ketentuan-ketenuan TZMKO yang berhubungan dengan wilayah perairan tidak sesuai dengan kepentingan dan keselamatan Negara Republik Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, oleh sebab itu Indonesia menyatakan bahwa lebar Laut Teritorial Indonesia adalah 12 Mil Laut.

Pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah mengeluarkan pernyataan yang di kenal dengan Deklarasi Djuanda yang berbunyi:

Bahwa segala Perairan disekitar diantara yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luar atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan demikian pula merupakan dari pada Perairan Nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia

Kompas.com

Dikeluarkan deklarasi ini dengan maksud menyatukan wilayah daratan yang terpecah-pecah sehingga deklarasi akan menutup adanya lautan bebas yang berada diantara pulau-pulau wilayah daratan. Pertimbangan lain yang mendorong pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia adalah:

  • Bahwa bentuk geografis Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang perlu peraturan sendiri;
  • Bahwa penetapan batas-batas laut Teritorial yang diwarisi dari pemerintah kolinial Belanda yang bermaktub TZMKO 1939 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan Negara Republik Indonesia;
  • Bahwa setiap Negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu untuk melindungi kebutuhan dan keselamatan Negara Republik Indonesia.

Dalam perkembangannya pernyataan tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) supaya mempunyai kekuatan hukum yang pasti atau mempunyai kedudukan yang sejajar dengan undang-undang, kemudian pada Tahun 1960 ditingkatkan dalam bentuk UU Nomor 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia yang secara tegas menyatakan Batas Wilayah Laut Indonesia selebar 12 Mil yang diukur dari pulau pulau terluar wilayah Indonesia.

Perpu tersebut didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum Internasional sebagaimana ditetapkan dalam konvensi-konvensi Jenewa tentang Hukum Laut Tahun 1958.

Upaya yang dilakukan untuk membentuk ketentuan yang dapat diterapkan secara Internasional dalam penetuan batas wilayah laut dari masing-masing Negara pantai antara lain:

  • Pada Tahun 1936 telah diadakan konferensi Kodifikasi di Den Hag
  • Pada Tahun 1939 dikeluarkan Ordonansi yang mengatur tentang batas laut Teritorial sejauh 3 Mil Laut
  • Pada Tahun 1958 diadakan konferensi hukum laut I di Jenewa, belum mampu menghasilkan kesepakatan Internasional dalam jarak 12 Mil laut
  • Pada Tahun 1960 diadakan Konferensi hukum laut II di Janewa, belum mampu enghasilkan kesepakatan
  • Pada Tahun 1974 diadakan konferensi hukum laut di Caracas Venezuela yang menentukan jarak wilayah laut Teritorial sejauh 12 Mil laut
  • Pada Tahun 1982 diadakan Konferensi laut III di Montego Bay, Jamaica telah ditandatangani oleh 119 Negara anggota PBB yang menyepakati suatu perjanjian baru yang mengatur tentang berbagai kegiatan dalam bentuk suatu perjanjian Internasional yang komprehensif yang dikenal dengan United Nations Convention on The Law Of The Sea (UNCLOS).

Pada tanggal 31 Desember 1985 Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Sebagaimana pelaksanaan lebih lanjut dari ratifikasi ini pada Tahun 1996 pemerintah mencabut Perpu Nomor 4 Tahun 1960 dan menggantinya dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang telah disesuaikan dengan UNCLOS 1982.

UU Nomor 6 Tahun 1996 ini kemudian dilengkapai dengan PP Nomor 61 Tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik pangkal dari garis pangkal lurus kepulauan dilaut Natuna.

Perjuangan Indonesia pada Konferensi PBB tentang Hukum Laut III

Untuk dapat menyatakan wilayah Indonesia yang secara geografis itu adalah terdiri dari laut-laut, pulau-pulau dan gugusan pulau pulau sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh harus memenuhi minimal dua unsur keadaan yaitu:

  1. Adanya dasar hukum atau jaminan hukum yang menyatakan bahwa kondisi alamiah wilayah Indonesia yang demikian itu adalah sebagai satu kesatuan wilayah
  2. Adanya usaha dan kegiatan yang nyata dalam pemanfaatan dan pengendalian wilayah tersebut sebagai satu kesatuan wilayah Negara.

Melalui perjuangan bangsa Indonesia dalam Konferensi Hukum Laut International telah berhasil dimasukkan dalam Konvensi Hukum Laut yang baru (Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982).

”Azas Nusantara” atau yang dalam Hukum Laut International dikenal dengan istilah “Archipelago Principle” sebagai Azas dari suatu Negara Kepulauan.

Azas Ketentuan hukum yang berkenaan dengan Negara kepulauan telah diatur dalam bab tersendiri dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yaitu Bab IV terdiri dari pasal 46 s.d 54.

Garis Pangkal/Dasar Nusantara (Archipelagic Base Line)

Sebelum membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan rezim hukum perairan diatas perlu terlebih dahulu dibicarakan tentang garis pangkal Nusantara (Archipelagic Base Line dan garis penutup/closing line).

“Archipelagic Base Line” adalah konvensi hukum yang menunjuk pada pengertian suatu garis atau titik-titik pada suatu garis dari mana diukur batas-batas terluar dari suatu lebar laut wilayah, Zona tambahan, ZEE dan Landas Kontinen dari pada suatu Negara
kepulauan.

Secara teknis Archipelagic Base Line adalah gabungan penerapan atau alternatif penerapan 3 (tiga) garis pangkal yaitu:

Garis Pangkal Normal (Normal base Line)

Berupa garis (Coastline) yang terbentuk oleh laut dan pantai daratan yang sering juga disebut garis pantai pada saat air surut terendah.

Garis Pangkal Lurus

Konsepsi garis pangkal lurus sedemikian ini adalah suatu konsepsi hukum tentang garis pangkal lurus yang dikembangkan pertama oleh Negara pantai Norwegia dengan suatu “Norwegian Decree” Penerapan Garis pangkal lurus (Straight Base Line) ini untuk 2 (dua) keadaan yaitu:

1) Dalam hal ini di depan pantai terdapat pulau-pulau maka lebar Zona perikanan diukur dari suatu Garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau tersebut;
2) Dalam hal pantai berliku-liku secara tajam (tidak ada pulau di depannya) maka lebar Zona perikanan diukur dari suatu garis lurus;
3) Garis pangkal lurus kepulauan/Nusantara (Straight Archipelagic Base Line). Konsepsi garis pangkal lurus kepulauan/Nusantara yang pertama kali dipraktekan oleh Negara Kepulauan Indonesia yaitu melalui Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 yang kemudian diatur dalam Undang-undang Perairan Indonesia UU Nomor 4 Prp Tahun 1960.

Rezim Hukum Perairan dan Laut yang berada di bawah Yuridiksi Nasional suatu Negara Kepulauan seperti halnya Indonesia

Dari Konvensi PBB tentang Hukum laut 1982 maka setiap Negara Kepulauan seperti halnya Negara Nusantara Indonesia dapat menyatakan bagian tertentu dari Perairan dan laut yang berbatasan dengan Negara Kepulauan Indonesia yang meliputi:

a. Perairan Pedalaman (Internal Waters);
b. Perairan Nusantara (Archipelagic Waters);
c. Laut Wilayah (Teritorial Sea);
d. Zona Tambahan (Contiguos Zone);
e. Landas Kontinen (Continental Shelf);
f. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Ekonomic Zone);
g. Laut Lepas (High Seas);
h. Kawasan Dasar Laut Internasional.

Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Dalam Konvensi hukum laut 1982 (UNCLOS 1982) tidak disebutkan secara terurai apa yang dimaksud dengan perairan pedalaman, namun dalam salah satu pasal di sebutkan bahwa muara-muara sungai, teluk-teluk dan perairan pelabuhan dapat dinyatakan sebagai perairan pedalaman.

Bila dikaitkan dengan ketentuan UU Nomor 4 Prp Tahun 1960 Jo PP Nomor 8 Tahun 1962 dan TZMKO dengan istilah apa yang disebut Perairan darat (Inland waters) maka Perairan Pedalaman yang dimaksud meliputi:
kuala sungai, muara terusan, anak laut, sungai-sungai, danau-danau, terusan-terusan, perairan antara gugusan pulau-pulau dan perairan yang berada pada sisi dalam garis
air surut terendah.

Adapun status hukum dari perairan pedalaman tersebut sesuai dengan statusnya sebagai bagian integral wilayah Negara berada dibawah kedaulatan Negara tanpa adanya pengecualian-pengecualian oleh ketentuan hukum Internasional.

Dengan demikian Negara/Pemerintah berhak mengambil tindakan-tindakan pemanfaatan atas perairan pedalaman serta tindakan lain yang berhubungan dengan pengelolaan perairan pedalaman untuk tujuan berbagai aspek kepentingan rakyat, bangsa dan Negara Indonesia serta berwenang membuat peraturan dan menegakkannya.

Perairan Nusantara (Archipelagic Waters)

Perairan nusantara (Archipelagic Waters) dalam suatu Negara kepulauan (Archipelagic States) menurut ketentuan konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 adalah seluruh perairan yang berada pada sisi dalam dari garis-garis pangkal/dasar Nusantara (Archipelagic Base Line) yaitu berupa garis-garis lurus nusantara (Base Line) dan atau garis dasar normal (Normal Base Line) bila dibandingkan dengan UU Nomor 4 Prp Tahun 1960 maka disebutkan laut-laut pedalaman dan selat-selat yang yang berada disekitar kepulauan Indonesia adalah sama dengan perairan nusantara di atas.

Seperti halnya perairan pedalaman maka perairan nusantara adalah juga bagian integral dari wilayah Negara. Oleh karenanya status hukum dari perairan nusantara juga tunduk di bawah kedaulatan Negara.

Dalam kaitan pemanfaatan perairan nusantara tersebut khusus dalam bidang pelayaran maka ada beberapa kepentingan masyarakat internasional yang perlu diperhatikan yaitu baik menurut peraturan hukum nasional maupun ketentuan hukum internasional yang berlaku bahwa dalam perairan nusantara dikenal adanya hak lintas laut damai bahkan menurut konvensi Hukum Laut PBB 1982, dikenal adanya hak lintas alur laut nusantara termasuk rute penerbangan di atas alur laut nusantara tersebut.

Laut Wilayah (Teritorial Sea)

Laut wilayah suatu Negara Kepulauan seperti halnya Negara RI baik menurut Perundang–undangan Nasional Indonesia maupun menurut konvensi Hukum Laut PBB 1982, adalah perairan atau jalur laut tertentu yang terletak di sebelah luar dan berbatasan dengan wilayah daratan, Perairan nusantara dan atau perairan pedalaman dari Negara kepulauan tersebut yang lebarnya 12 Mil Laut diukur dari suatu garis–garis pangkal Nusantara.

Status hukum laut wilayah berada di bawah kedaulatan Negara. Seperti halnya pada perairan
nusantara maka di laut wilayah dikenal pula adanya lintas damai, lintas alur-alur nusantara dan hak-hak lain yang timbul dari perjanjian bilateral Malaysia-Indonesia sebagaimana disebutkan diatas

Zona Tambahan (Contiguos Zone)

Zona tambahan adalah suatu jalur laut yang berbatasan dan berada diluar laut wilayah yang batas terluasnya sejauh 24 Mil laut di ukur dari garis pangkal nusantara.

Pada hakikatnya status hukum dari zona tambahan tunduk pada prinsip kebebasan di laut lepas tetapi dengan adanya perkembangan hukum dalam konvensi Hukum Laut PBB 1982 dimana dikenal Rezim hukum baru yaitu Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang juga berada diluar dan berbatasan dengan laut wilayah maka dengan sendirinya pada zona tambahan berlaku status hukum ZEE.

Mengenai pengaturan Zona tambahan, Indonesia sampai dengan saat ini belum ada undang-undang yang mengaturnya.

Dari konvensi PBB tentang hukum laut 1982 dapat diketahui bahwa negara pantai dapat menerapkan ketentuan ketentuan hukum nasional yung berlaku pada wilayah negaranya di Zona tambahan guna melindungi beberapa kepentingan-kepentingan tertentu yaitu yang berkenaan dengan:

  • Imigrasi
  • Fiskal
  • Kepabeanan
  • Sanitary

Landas kontinen (Continental Shelf)

Landas kontinen menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU Nomor 1 Tahun 1973) ialah dasar laut dan tanah dibawahnya yang merupakan terusan/kelanjutan dari daratan pantai yang berada di luar dan berbatasan dengan laut sampai dengan kedalaman 200 meter atau sampai dimana Negara mampu untuk mengelola sumber daya alam yang terdapat didasar laut.

Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Ekonomic Zone)

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu jalur laut tertentu yang berada di luar dan berbatasan dengan laut wilayah, yang batas terluasnya adalah sejauh 200 mil laut diukur dengan garis pangkal nusantara.

Dalam konvensi hukum laut tersebut diatas dapat diketahui bahwa status hukum dari ZEE adalah tunduk pada suatu rezim hukum khusus (Spesific Legal Regim) yang artinya pada kawasan yang dibuat ZEE tersebut tidak sepenuhnya berada di bawah kedaulatan satu Negara pantai tetapi tidak sepenuhnya rezim hukum bebas, jadi disamping Negara pantai yang bersangkutan mempunyai hak dan yudiriksi tertentu di ZEE (terhadap sumber kekayaan yang ada didalamnya) Negara lainpun mempunyai kebebasan–kebebasan tertentu di ZEE tersebut.

Adapun hak dan Yudiriksi Negara RI atas ZEE nya meliputi:
1) Hak kedaulatan untuk tujuan Explorasi dan eksploitasi
2) Hak kedaulatan (Sovereign Right) untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi serta pembinaan/pengelolaan sumber daya buatan di ZEE
3) Hak Eksklusif (Eksklusif Rigth) untuk membangun, mengusai
4) Hak–hak lainnya yang disebutkan dalam UU Nomor 5
5) Berwenang mengadakan pengaturan dan penerbitan dalam rangka penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi dan konstruksi lainnya bila perlu dapat menetapkan suatu zona pengamanan di sekitar pulau-pulau buatan atau instalasi tersebut
6) Berwenang mengadakan pengaturan dan penertiban dalam bidang kepabeanan, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi atau pulau-pulau buatan atau instalasi tersebut;
7) Berwenang mengadakan pengaturan dan penerbitan dalam memelihara kelestarian lingkungan laut (The Preservation Of Marine Environment);
8) Berwenang mengadakan pengaturan dan penertiban dalam kaitan penelitian ilmiah kelautan (Marine Scientifi Research);
9) Berwenang mengadakan peraturan dan pemeliharaan kelestarian sumber hayati termasuk didalamnya menetapkan prosedur dan syarat-syarat penangkapan ikan.

Laut Lepas (high Seas)

Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Teritorial, Perairan kepulauan dan perairan pendalaman.

Berbeda dengan Konvensi Jenewa Tahun 1958 tentang laut lepas yang menetapkan laut lepas dinilai dari batas terluar dari laut teritorial, konvensi ini menetapkan bahwa laut lepas tidak mencakup ZEE, Laut Teritorial, Perairan Kepulauan dan Perairan Pedalaman kecuali perbedaan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap Negara dengan mengindahkan hak Negara lain dalam melaksanakan kebebasan di laut lepas.
1) Kebebasan berlayar;
2) Kebebasan Penerbangan;
3) Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di dasar laut;
4) Kebebasan untuk menangkap ikan kecuali di ZEE;
5) Kebebasan untuk melakukan Riset Ilmiah.

Kawasan Dasar Laut Internasional

Kawasan dasar laut Internasional adalah dasar laut/samudera yang terletak di luar landas kontinen dan berada di bawah laut lepas.

Konvensi menetapkan bahwa kawasan dasar laut Internasional dan kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya merupakan warisan bersama umat manusia.

Tidak ada satu Negara pun boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak berdaulat atas bagian dari kawasan dasar laut internasional demikian pula tidak satu Negarapun atau badan hukum atau orang boleh melaksanakan pemilikan atas salah satu bagian dari kawasan tersebut dan pengelolaannya dilaksanakan oleh suatu badan Internasional yaitu Otorita Dasar Laut Internasional International Sea Bad Authority (ISBA). Khusus rezim laut lapas tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun termasuk kawasan dasar laut Internasional yang dimiliki oleh warisan bersama umat manusia.

Bagikan artikel ini